Bacaan Alkitab: 1 Timotius 1: 12-17
Setiap orang merindukan kesetiaan
demikian juga dengan Allah. Alangkah indahnya mendengar komentar Allah bagi
hidup kita yang berkata: “Baik sekali perbuatan mu itu, hai hambaku yang baik
dan setia; ... Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuan mu.” (Matius
25:21). Dan dalam bacaan kita diatas, Allah memberikan pengakuan bahwa Rasul
Paulus adalah orang yang setia. “karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku
...” (ayat 12) Suatu hidup yang sangat beruntung! Dan saya percaya kita juga
merindukan pengakuan seperti terjadi dalam hidup kita baik dalam mengikuti dan
melayani Tuhan.
Kesetiaan tidak ditentukan oleh
usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin dan segala predikat yang
disandangnya. Kesetiaan selalu berkaitan dengan tanggung jawab kita kepada
siapa kita berlaku setia. Dan kesetiaan kita kepada Tuhan dibuktikan oleh
jalan-jalan hidup kita di hadapan Tuhan.
Bagaimanakah caranya agar hidup
kita bisa setia kepada Tuuhan dan panggilannya?
Menyadari siapa diri kita dahulu
Paulus
menyadari hidupnya yang lama sebelum mengenal Kristus, “aku yang tadinya
seorang penhujat dan sorang penganiaya dan seorang yang ganas, “ (ayat 13)
Paulus adalah contoh figur di mana Allah sungguh luar biasa di dalam memilih
umat-Nya. Tuhan memanggil Paulus sewaktu Paulus berkobar-kobar mengejar-ngejar
dan menganiaya umat Tuhan (Kisah 22:4-5) dan dengan cara Tuhan hidup Paulus
diubahkan secara total dari orang yang memusuhi Tuhan, menjadi alat Tuhan yang
militan. Perjalanan Paulus untuk menjadi alat
Tuhan ini diawali dari lawatan Tuhan yang membawa Paulus pada kesadaran
yang membuat Paulus mengakui bahwa
dirinya adalah orang yang paling berdosa diantara orang-orang yang berdosa.
“Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: Kristus Yesus datang ke
dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan “diantara mereka, akulah yang
paling berdosa. (ayat 15) Kesadaran penuh akan siapa dirinya ini membawa Paulus
pada pintu gerbang anugerah Allah di mana Allah memberikan kepercayaan dan
tanggung jawab kepadanya untuk menjadi saksi-Nya dalam pemberitaan Injil
Kristus.
Kita
sama seperti Paulus karena semua manusia tidak ada yang benar, berdosa, terikat
oleh hukum taurat dan seharusnya nerakalah yang menjadi bagian kita. “Karena Semua orang telah berbuat dosa dan
kehilangan kemuliaan Allah. (Roma 3:23). Tetapi karena kasih dan anugerah
Allah, kita menjadi orang yang dibenarkan dan dilayakkan dan diberikan hak atas
hidup kekal di Sorga. Kesadaran akan siapa diri kita di masa lalu adalah fondasi awal dari langkah-langkah kita
di dalam meresponi anugerah Allah secara benar. Diri kita di masa lalu adalah
cermin hidup lama kita, jangan lupakan cermin itu karena apabila kita melupakan
hal itu, kita bisa terkungkung oleh masa lalu kita, sehingga hidup kita tidak akan
mengalami pembaharuan. Tetapi kesadaran hidup di masa yang lalu akan membuat
kita lebih arif untuk hidup di masa sekarang.
Menyadari akan belas kasihan Allah.
Paulus bisa memiliki kesetiaan
karena dia sungguh sadar bahwa hidupnya sekarang adalah semata-mata oleh belas
kasihan Allah: “...tetapi aku telah dikasihi-Nya,” (ayat 13) Ia sudah mengalami
kasih Allah yang begitu besar dan itulah yang mendorong dia untuk mengkitu
Kristus dan melayani Dia serta berbuat
sesuatu bagi Kristus. Dan Tuhan menjadikan Paulus menjadi Rasul besar, dan
pelayanannya menghasilkan banyak hal, itu juga karena anugerah yang diberikan
Allah kepadanya. Paulus tidak mengklaim bahwa keberhasilan itu adalah hasil
jerih payahnya tetapi dia menyadari bahwa itu semua karena anugerah Tuhan
semata-mata. “Malah kasih karunia Tuhan itu telah dikaruniakan dengan limpahnya
kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus. (ayat 14)
Sebagai
penerima anugerah sama seperti Paulus, apakah kita sudah sungguh-sungguh
menyadari bahwa keberadaan kita sekarang
juga karena anugerah Allah? Jika kita memiliki pekerjaan, suami, istri,
anak-anak, pendidikan yang baik, kesehatan, pelayanan atau apapun itu termasuk kesuksesan kita, semuanya
adalah anugerah Allah. Tanpa kesadaran yang demikian kita akan menjadi manusia
yang mengandalkan diri kita sendiri dan pada akhirnya kita akan menjadi manusia
yang sombong. Kesombongan akan mematri kita dengan kehidupan yang dikendalikan
oleh kehendak, pengalaman, dan kemampuan
kita yang menjurus ke egosentrisme yang berakibat pada kehancuran dan
kesia-siaan karena kita berada di luar
area kehendak Allah.
Untuk menuju kesadaran akan adanya
anugerah Allah diperlukan kerendahan hati. Apabila kita menghargai anugerah
Allah maka Allah akan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada kita.
Menyadari bahwa hidup kita dijadikan contoh.
Setelah menerima anugerah Allah,
Paulus menempatkan dirinya sebagai teladan atau patron. “Tetapi justru karena
itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa,
Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya, dengan demikian aku menjadi
contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang
kekal.” (ayat 16) Kata teladan merujuk pada suatu keunggulan kwalitas dibanding
dengan yang lain. Demikian juga orang yang sudah menerima anugerah Allah
seharusnya memiliki suatu kwalitas hidup yang lebih tinggi dari orang yang
belum menerima anugerah tersebut, karena hidupnya berada di bawah otoritas Sang
Pencipta, yang selalu membentuk dan memperbarui kehidupan orang-orang
kepercayaan-Nya melalui Firman-Nya dan realita kehidupan di mana di dalamnya
Allah menyatakan rencana-Nya. Sebagai orang yang telah menerima anugerah-Nya hendaknya kita mengenakan pakaian keteladanan yang membuat kita menjadi pribadi yang berbeda.
Bagaimana agar kita bisa menjadi
teladan? Keteladanan hanya di dapatkan dalam diri Kristus. Dengan bergaul akrab
(dekat) dengan Allah melalui Firman-Nya dan mencari wajah-Nya di dalam doa yang membuat kita
akan menjadi sahabat Allah. Persahabatan akan tercipta apabila terdapat
kesamaan-kesamaan pada masing-masing pribadi dan adanya kepercayaan satu sama
lain. Demikian juga apabila kita menjadi sahabat Kristus, Sang Teladan itu, kita
akan diubahkan menyerupai Dia sehingga kehadiran kita berarti juga kehadiran
pribadi Kristus yang ada dalam diri kita.
Oleh karena itu, kalau ingin menjadi pelayan Allah yang setia, sadarilah siapa diri Anda di masa lalu, dan akui bahwa apapun yang ada pada Anda hari ini adalah anugerah Allah semata-mata dan
bertumbuhlah menjadi teladan bagi orang yang belum mengenal Kristus. (*)